Salah satu hal yang unik/khusus dalam tindak pidana kehutanan adalah adanya barang bukti berupa SATWA LIAR, hal mana dalam KITAB“nya” Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak mendapat porsi tentang perlakuan terhadap Barang bukti berupa satwa liar apabila terjadi penyitaan. Saya menjadi maklum karena kriminalisasi terhadap pemanfaatan satwa liar terjadi tahun 1990 atau 9 (sembilan) tahun setelah diundangkannya KUHAP. Yaitu dengan diundangkannya UU No. 5 Tahun 1990 tentang KSDAH&E.
Contoh:
jika terjadi tindak pidana kehutanan berupa mengangkut/memperniagakan satwa liar yang dilindungi undang-undang jenis Trenggiling dalam keadaan hidup sebanyak 20 (dua puluh) ekor “saja” akan menimbulkan masalah dalam penanganannya yaitu:
- Makanan Trenggiling adalah serangga berupa semut/telor semut (kroto), yang harganya Rp. 10.000,- per ons, satu ekor trenggiling setidak-tidaknya memerlukan pakan 2 ons perhari, jadi jika waktu penyelesaian penyidikan selama 30 hari maka biaya yang dikeluarkan untuk makanan BB saja sebesar Rp. 10.000,- x 2 ons x 20 ekor x 30 hari = Rp 12.000.000, (dua belas juta rupiah) maka dapat dikatakan bahwa biaya penyimpanan benda tersebut akan menjadi terlalu tinggi.
- Ketersediaan tempat penyimpanan (kandang)
- Trenggiling merupakan benda terlarang untuk diedarkan sehingga tidak dapat dilelang.
jika benda sitaan berupa satwa liar dilindungi dalam keadaan hidup dimusnahkan tentu sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip konservasi sumber daya alam hayati, jalan keluar yang tepat dan bijak adalah PELEPASLIARAN.
Landasan Yuridis pelepasliaran satwa liar terdapat pada penjelasan Pasal 53 ayat (3) PP 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan bahwa:
Satwa liar yang dilindungi maupun tidak dilindungi undang-undang hasil sitaan, rampasan dan temuan dapat dilakukan tindakan :
a. dikembalikan ke alam;
b. dititipkan pada lembaga konservasi atau badan usaha yang bergerak di bidang konservasi yang dianggap
mampu; atau
c. dimusnahkan dengan izin pejabat yang berwenang.
Satwa liar yang dilindungi maupun tidak dilindungi undang-undang hasil sitaan, rampasan dan temuan dapat dilakukan tindakan :
a. dikembalikan ke alam;
b. dititipkan pada lembaga konservasi atau badan usaha yang bergerak di bidang konservasi yang dianggap
mampu; atau
c. dimusnahkan dengan izin pejabat yang berwenang.
Terkait dengan contoh permasalahan di atas, Pasal 9 huruf h Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.4/Menhut-II/2010 menjawab: “bahwa Tata cara pengurusan barang bukti meliputi : PEMUSNAHAN DAN PELEPASLIARAN” yang sebelumnya belum diatur secara khusus baik oleh KUHAP, UU Kehutanan maupun UU KSDAH&E.
PEMUSNAHAN BARANG BUKTI
Pemusnahan barang bukti dilakukan terhadap:
- hasil hutan, tumbuhan, satwa atau bagian-bagiannya yang MENGANDUNG BIBIT PENYAKIT dan/atau rusak;
- alat untuk melakukan Tipihut yang berbahaya;
- hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan lindung; dan
- tumbuhan atau satwa DALAM KEADAAN MATI atau bagian-bagiannya yang berasal dari kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam;
(Pasal 40 ayat (1) Permenhut No.: P.4/Menhut-II/2010)
PELEPASLIARAN
Pelepasliaran dilakukan terhadap barang bukti berupa tumbuhan atau satwa liar dalam keadaan hidup berupa:
a. tumbuhan atau satwa yang dilindungi; dan
b. tumbuhan atau satwa yang berasal dari kawasan Suaka Alam atau kawasanPelestarian alam.
c. Apabila di wilayah kerja instansi yang menangani Tipihut tidak terdapat sarana pemeliharan barang bukti
tumbuhan atau satwa yang memadai maka barang bukti tersebut dapat dilepasliarkan.
Pelaksanaan pelepasliaran barang bukti berupa satwa liar wajib mempertimbangkan:
a. tumbuhan dan satwa yang akan dilepas-liarkan masih memiliki sifat liar atau memiliki gen yang masih murni
sehingga mampu bertahan di habitatnya;
b. tumbuhan dan satwa yang akan di lepas-liarkan dalam keadaan sehat/tidak memiliki penyakit menular; dan
c. lokasi pelepasliaran satwa merupakan habitat asli satwa yang akan dilepasliarkan.
Setiap kegiatan pemusnahan atau pelepasliaran barang bukti wajib dibuatkan berita acara. berita acara penyisihan barang bukti; dan berita acara pemusnahan atau pelepas-liaran. Pasal 43 ayat (1) dan (2),
Ketentuan Pasal 43 ayat (1) dan (2) Permenhut No.: P.4/Menhut-II/2010 bersifat komulatif karena ada kata penghubung “dan”. Untuk pemusnahan barang bukti mungkin tidak menjadi masalah, masalah akan timbul pada PELEPASLIARAN barang bukti, jelas akan menimbulkan masalah misal: jika PPNS Kehutanan melepasliarkan barang bukti berupa satu ekor Buaya Muara (Crocodylus porosus), bagian manakah yang akan disisihkan? (Karena ada kewajiban untuk menyisihkan BB sebagaimana disebut ayat (2) Pasal 43 Permenhut No.: P.4/Menhut-II/2010
Urusan pemusnahan dan pelepasliaran barang bukti masih meninggalkan “PR” untuk Dirjen PHKA, sebagaimana disebut dalam ketentuan Pasal 43 ayat (5) Permenhut No.: P.4/Menhut-II/2010 bahwa “Ketentuan pemusnahan dan pelepasliaran barang bukti diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal”
semoga “NGGAK PAKE LAMA”
untuk barang bukti yang berasal dari kawasan pelestarian alam (KPA) seperti taman nasional ada surat edaran tidak boleh dimanfaatkan (harus dimusnahkan/tidak boleh dilelang) adakah peraturannya yang mendukungnya?tolong diupload, trims.
BalasHapusBagus....Salam Rimbawan....
BalasHapusPasal 3 ayat (2) Permenhut No.P.48/Menhut-II/2006 Ttg Petunjuk Pelaksanaan Pelelangan Hasil Hutan Temuan, Sitaan Dan Rampasan sebagaimana telah diubah dengan Permenhut No.P.47/Menhut-II/2009 bahwa:
BalasHapus"Hasil hutan temuan, sitaan dan atau rampasan yang tidak dapat dilelang meliputi satwa dan atau tumbuhan liar dan hasil hutan yang berasal dari Hutan Konservasi dan atau hasil hutan kayu yang berasal dari Hutan Lindung".