Hutan merupakan bagian dari lingkungan hidup, regulasi perundang-undangannyapun ada keterkaitan antara undang-undang pengelolaan lingkungan hidup dengan undang-undang kehutanan, menurut Andi Hamzah “Undang-Undang Kehutanan merupakan undang-undang sektoral yang dinaungi oleh Undang-Undang Lingkungan Hidup karena pada bagian “mengingat” dalam konsideransnya tertulis Undang-Undang Lingkungan Hidup”. (Hamzah, Andi, 2005, Penegakan Hukum Lingkungan, cetakan pertama, Sinar Grafika, Jakarta.)
Penyelesaian sengketa kehutanan menurut ketentuan undang-undang kehutanan mengadopsi sebagian ketentuan penyelesaian sengketa sebagaimana yang tertuang dalam undang-undang pengelolaan lingkungan hidup, hal ini dapat kita lihat dan kita bandingkan antara ketentuan Pasal 30 Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 dengan ketentuan Pasal 74 dan 75 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999.
Pasal 30 Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 menyebutkan bahwa:
“penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku bagi tindak pidana yang diatur dalam undang-undang ini”.
Perbuatan melawan hukum yang melanggar ketentuan undang-undang lingkungan hidup dan undang-undang kehutanan dapat dikenai sanksi administrasi, ganti kerugian dan sanksi pidana, sehingga penegakannya dapat melalui instrumen hukum administrasi, hukum perdata dan hukum pidana, tetapi dalam penggunaan instrumen hukum pidana ada ketentuan prinsipil dalam undang-undang pengelolaan lingkungan hidup yang tidak diadopsi oleh undang-undang kehutanan yaitu keberlakuan asas subsidiaritas.
Dalam penjelasan umum undang-undang pengelolaan lingkungan hidup menyebutkan bahwa sebagai penunjang hukum administrasi, berlakunya ketentuan hukum pidana tetap memperhatikan asas subsidiaritas yaitu bahwa hukum pidana hendaknya didayagunakan apabila sanksi pada bidang hukum lain seperti sanksi administrasi, dan sanksi perdata, dan alternatif penyelesaian sengketa lingkungan hidup tidak efektif dan/atau tingkat kesalahan pelaku relatif berat dan/atau akibat perbuatannya relatif besar dan/atau perbuatannya menimbulkan keresahan masyarakat. Dengan demikian penggunaan hukum pidana baik pengenaan ancaman pidana maupun proses perkara pidana dalam ketentuan undang-undang pengelolaan lingkungan hidup merupakan “senjata terakhir” (ultimum remedium).
Berdasarkan penjelasan umum di atas, Koesnadi Hardjasumantri berpendapat bahwa penegakan hukum pidana terhadap suatu tindak pidana lingkungan hidup baru dapat dimulai bila telah dilaksanakannya tindakan hukum tersebut di bawah ini:
Kedua syarat asas subsidiaritas dalam bentuk upaya tersebut di atas dapat dikesampingkan, apabila dipenuhi tiga syarat/kondisi tersebut di bawah ini:
Undang-undang kehutanan tidak menganut asas subsidiaritas dalam penggunakan instrumen hukum pidana untuk penyelesaian perkara pidana dibidang kehutanan, undang-undang kehutanan juga tidak mengatur mekanisme proses perkara pidana tersendiri, oleh karena itu proses perkara pidana pengangkutan hasil hutan kayu secara ilegal diselenggarakan mengacu pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sesuai ketentuan Pasal 284 ayat (2) yang menyatakan bahwa dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi
Penyelesaian sengketa kehutanan menurut ketentuan undang-undang kehutanan mengadopsi sebagian ketentuan penyelesaian sengketa sebagaimana yang tertuang dalam undang-undang pengelolaan lingkungan hidup, hal ini dapat kita lihat dan kita bandingkan antara ketentuan Pasal 30 Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 dengan ketentuan Pasal 74 dan 75 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999.
Pasal 30 Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 menyebutkan bahwa:
- Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa.
- sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
- telah dipilih upaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa.
- Penyelesaian sengketa kehutanan dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa.
- apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan, maka gugatan melalui pengadilan dapat dilakukan setelah tidak tercapai kesepakatan antara pihak yang bersengketa.
“penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku bagi tindak pidana yang diatur dalam undang-undang ini”.
Perbuatan melawan hukum yang melanggar ketentuan undang-undang lingkungan hidup dan undang-undang kehutanan dapat dikenai sanksi administrasi, ganti kerugian dan sanksi pidana, sehingga penegakannya dapat melalui instrumen hukum administrasi, hukum perdata dan hukum pidana, tetapi dalam penggunaan instrumen hukum pidana ada ketentuan prinsipil dalam undang-undang pengelolaan lingkungan hidup yang tidak diadopsi oleh undang-undang kehutanan yaitu keberlakuan asas subsidiaritas.
Dalam penjelasan umum undang-undang pengelolaan lingkungan hidup menyebutkan bahwa sebagai penunjang hukum administrasi, berlakunya ketentuan hukum pidana tetap memperhatikan asas subsidiaritas yaitu bahwa hukum pidana hendaknya didayagunakan apabila sanksi pada bidang hukum lain seperti sanksi administrasi, dan sanksi perdata, dan alternatif penyelesaian sengketa lingkungan hidup tidak efektif dan/atau tingkat kesalahan pelaku relatif berat dan/atau akibat perbuatannya relatif besar dan/atau perbuatannya menimbulkan keresahan masyarakat. Dengan demikian penggunaan hukum pidana baik pengenaan ancaman pidana maupun proses perkara pidana dalam ketentuan undang-undang pengelolaan lingkungan hidup merupakan “senjata terakhir” (ultimum remedium).
Berdasarkan penjelasan umum di atas, Koesnadi Hardjasumantri berpendapat bahwa penegakan hukum pidana terhadap suatu tindak pidana lingkungan hidup baru dapat dimulai bila telah dilaksanakannya tindakan hukum tersebut di bawah ini:
- Aparat yang berwenang menjatuhkan sanksi administrasi sudah menindak pelanggar dengan menjatuhkan suatu sanksi administrasi tersebut tidak mampu menghentikan pelanggaran yang terjadi atau,
- Antara perusahaan yang melakukan pelanggaran dengan masyarakat yang menjadi korban akibat terjadi pelanggaran, sudah diupayakan penyelesaian sengketa melalui mekanisme alternatif diluar pengadilan dalam bentuk musyawarah/perdamaian/ negosiasi/mediasi namun upaya tersebut juga tidak efektif, baru kegiatan dapatdimulai/ instrumen penegakan hukum pidana lingkungan hidup dapat digunakan.
Kedua syarat asas subsidiaritas dalam bentuk upaya tersebut di atas dapat dikesampingkan, apabila dipenuhi tiga syarat/kondisi tersebut di bawah ini:
- tingkat kesalahan pelaku relatif berat,
- akibat perbuatannya relatif besar,
- perbuatan pelanggaran menimbulkan keresahan masyarakat
Undang-undang kehutanan tidak menganut asas subsidiaritas dalam penggunakan instrumen hukum pidana untuk penyelesaian perkara pidana dibidang kehutanan, undang-undang kehutanan juga tidak mengatur mekanisme proses perkara pidana tersendiri, oleh karena itu proses perkara pidana pengangkutan hasil hutan kayu secara ilegal diselenggarakan mengacu pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sesuai ketentuan Pasal 284 ayat (2) yang menyatakan bahwa dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi
0 komentar:
Posting Komentar